Jakarta, Mediaprospek.com – Nabi Muhammad diutus bukan hanya untuk menjadi pembimbing bagi umat Islam tetapi juga untuk umat manusia secara keseluruhan, bahkan untuk segenap alam semesta, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Q.S. al-Anbiya’/21:107).
Lebih khusus lagi Islam sebagai agama akhir zaman dan Nabi Muhammad Saw sebagai akhir sebagai Nabi dan Rasul, sudah barang tentu Islam harus menjadi isu utama di dalam mewujudkan kemanusiaan yang lebih bermartabat.
Tantangan umat Islam selanjutnya ialah bagaimana menjadikan Islam sebagai sebuah agama publik, yang dapat dipahami dan diterima semua pihak tanpa menimbulkan ketegangan dan gesekan.
Bagaimana mewujudkan Islam sebagai agama publik yang paralel dengan nilai-nilai lokal yang sudah hidup dan berkembang sebelum kedatangannya di suatu negeri.
Khusus untuk AS, sebuah negara besar yang sudah memiliki karakter dan kepribadian sendiri dan dipegang teguh oleh rakyat AS.
Bagaimana menjadikan Islam sebagai sebuah agama yang bisa saling mendukung antara kearifan lokal AS dan nilai-nilai dasar universal Islam.
Nasaruddin Umar. (Foto: Edi Wahyono)
Seperti yang pernah dijelaskan di dalam artikel terdahulu bahwa nilai-nilai dasar universal Islam tumpang tindih (overlapped) dengan karakter dan kepribadian AS yang realitas sosial masyarakatnya pluralistik.
Islam juga mengakui adanya kemajemukan dan pluralitas umat manusia, di manapun dan kapan pun, sebagaimana ditegaskan dalam ayat:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.”
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat/49:13).”
Hal ini selaras dengan watak dasar masyarakat AS ialah sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), sama dengan Islam juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bahkan sudah jadi mayat sampai kuburan pun Islam memberikan pengaturan.
Membunuh satu nyawa sama dengan membunuh semua nyawa dan menghidupkan satu nyawa sama dengan menghidupkan semua nyawa lainnya.
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Q.S. al-Maidah/5:32).
Allah SWT juga menegaskan bahwa semua anak manusia, anak cucu Adam (bani Adam) wajib dimuliakan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (Q.S. Al-Isra’/17:70).
Di dalam memilih dan menetapkan pemimpin, termasuk Kepala Negara, AS mengacu kepada sistem demokrasi, yang mengacu kepada pilihan rakyat.
Siapapun yang terpilih maka dialah yang harus dihormati sebagai pemimpin. Berbeda dengan sistem monarki yang memberikan kewenangan lebih kepada raja untuk menentukan Kepala Negara.
Semangat Islam sesungguhnya lebih condong ke semangat demokrasi daripada ke semangat monarki.
Islam mengedepankan musyawarah dan dialog di dalam menentukan hal-hal yang prinsip, termasuk penentuan Kepala Negara, sebagaimana dijelaskan dalam ayat: Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. (Q.S. Ali ‘Imran/3:159).
Atas dasar persamaan nilai-nilai dasar ajaran Islam dan karakter masyarakat AS, maka wajar jika Islam sebagai agama sebagaimana dikatakan oleh Hillary Clinton: “Islam is the fastest growing religion in USA” (Islam adalah agama paling cepat perkembangannya di AS).
(mzr/dtc)