Jakarta, Mediaprospek.com – Sejatinya, timnas Palestina tentu antusias dan bergairah untuk tampil di Kualifikasi Piala Dunia 2026 dan Piala Asia 2023 (2024), namun kondisi yang terjadi di negaranya membuat mereka berbicara soal kematian.
Padahal, Palestina merupakan salah satu negara elite dalam sepak bola Asia, terbukti skuad berjuluk Singa Kanaan itu bisa menembus Piala Asia yang akan berlangsung Januari 2024.
Bukan sekali saja Palestina masuk putaran final Piala Asia, melainkan sudah sejak 2015 dan berlanjut pada 2019.
Menjelang Kualifikasi Piala Dunia 2026 yang tinggal dua pekan lagi, timnas Palestina tidak bisa menjalankan persiapan ideal macam kesebelasan-kesebelasan lain seperti Timnas Indonesia.
Serangan-membabi buta Israel sejak tiga pekan lalu membuat ribuan orang tewas, namun beruntung semua anggota timnas Palestina bisa keluar dari negara tersebut pada Senin (30/11).
Ini setelah perjuangan koordinasi Otoritas Palestina selaku badan pemerintahan yang mengawasi Tepi Barat dengan Pangeran Ali Bin Al Husein dari Yordania yang merupakan Presiden Asosiasi Sepak Bola Yordania.
Namun demikian, tak semua atlet seberuntung anak asuh Makram Daboub tersebut.
Komentator dan analis sepak bola Palestina Khalil Jadallah menyatakan banyak atlet termasuk pemain sepak bola yang tewas. “Sulit untuk mengetahui secara pasti berapa banyak orang yang tewas selama perang ini karena banyaknya korban jiwa,” ucap Jadallah kepada Al Jazeera.
Dalam pemberitaan Al Jazeera tercantum beberapa nama atlet sepak bola yang meninggal menjadi korban serangan Palestina seperti Rashid Dabbour dan Mohammed Maree Sawafta.
Mohammed Balah seorang pemain sepak bola Palestina yang kebetulan sedang berada di Gaza setelah sempat bermain di beberapa negara Asia Barat mengisahkan kondisi tragis dalam cuitan di media sosial sejak beberapa pekan lalu.
“Saya akan bicara soal kondisi saya dan keluarga saya. Pada awal perang kami diberitahu entitas arogan ini untuk mengevakuasi dari Kota Gaza ke Gaza tengah. Mereka kemudian mengebom kami tanpa henti sehingga kami hampir tidak bisa melarikan diri ke selatan.”
“Kami sekarang berada di selatan menunggu Zionis pembunuh untuk mengebom kami di lain waktu. Mungkin kali ini terakhir kami selamat dari serangan. Kami hanya memiliki Tuhan,” tulis Balah dikutip dari akun Football Palestine.
Sementara mantan rekan satu tim Balah yang juga pernah berkostum timnas Palestina Mahmoud Wadi menceritakan pengalaman berada di tengah situasi perang di Gaza pada 2014.
“Saya hendak tidur pada malam hari dan melihat atap yang bisa saja runtuh sewaktu-waktu menimpa kepala saya,” ucapnya dalam wawancara dengan OnTime.
Kini Wadi yang bermain di Mesir hanya bisa sesekali melakukan kontak dengan keluarga dan teman-teman yang berada di Gaza setelah serangan sejak Oktober lalu.
“Banyak pemain baik lawan ataupun rekan setim saya saat berada di Gaza telah meninggal. Jika bukan karena sepak bola. Jika bukan karena sepak bola mungkin saya tidak ada di posisi saat ini,” sebutnya.
“Sepak bola membuat saya keluar dari Gaza dan menjadi tanggung jawab kami untuk mencoba menjadi wakil Palestina sebaik mungkin,” pungkas Wadi.
(mzr/dtc/cnn)